Jumat, 21 Mei 2010

Bendera Berkibar Malam-Malam

BENDERA BERKIBAR MALAM-MALAM

Saya melihat bendera merah putih di depan kantor-kantor makin banyak yang berkibar siang dan malam. Apakah memang ada peraturan baru atau saya yang lupa bagaimana tertib pengibaran bendera simbol negara kita?

Demikian diungkapkan senior saya dengan penuh nada keprihatinan………….

Sepenuhnya saya dapat memahami keresahan senior saya itu. Memang sangat tidak tertib kalau bendera merah putih berkibar siang dan malam. 24 jam beroperasi seperti swalayan SHELL di Dinckelscherben, Bavaria. Padahal simbol negara yah ? Artinya sama saja dengan tidak menghormati para founding father kita. Banyak pejuang kita gugur sebagai syuhada membela sang saka Dwi Warna tersebut. Itu terjadi hanya karena SATPAM atau SATPAMWATI dari kantor tersebut malas untuk memasangkan kembali bendera tersebut tepat Pkl. 6 pagi waktu setempat di keesokan harinya.

Meskipun begitu, kemudian jangan disalahkan tukang jualan bendera yang mangkal di pinggir-pinggir jalan protokol Jakarta kalau sudah dekat 17 Agustusan. Mereka bahkan tidurnya pun kadang-kadang di atas dus-dus yang didalamnya penuh berisi bendera for sale. Nasionalisme mereka sangat tidak diragukan dalam membela agar dapur keluarga tetap ngebul, …. Setidaknya mereka adalah hero bagi anak dan istrinya.

Saya jadi teringat masa kecil saya di kampung, jauh di pelosok Karawang. Biasanya setiap yang bikin rumah, dapat dipastikan di atap rumah yang sedang dibangun itu, mesti salah satu kayunya dibelit dengan bendera merah putih. Disandingkan dengan ikatan padi dan pisang yang bergantung. Siang malam kapanasan, kahujanan. Tentu sebagai seorang remaja kampung yang gemar latihan Pramuka, bener-bener nasionalisme saya begitu terusik waktu itu. Saya jadi sempet berpikir kalau saya dan orang Karawang lainnya teh tidak punya nasionalisme semua gara-gara persoalan bendera itu. Padahal Karawang dikenal sebagai Kota Pangkal Perjuangan, karena penduduknya dengan gagah berani berhasil menghambat laju tentara Belanda mulai dari Bekasi sampai jembatan Bojong. Tidak sedikit yang gugur, hingga diabadikan oleh Chairil Anwar dalam sajaknya yang terkenal “Antara Karawang Bekasi”.

Demikian juga ketika orang tua saya membangun rumah panggung kayunya secara bergotong royong, kembali kejadian budaya bendera itu berulang. Maka untuk menghilangkan rasa penasaran, saya bertanya kepada ayah saya “kenapa hal tersebut terjadi ?”. Dengan tersenyum ayah saya menjawab, “Geus lumrah jeung adat karuhun”. Padahal saya menghendaki jawaban ayah saya itu bernada gusar atau setidaknya memihak pada kerisauan saya. Apalagi membayangkan bahwa beliau dan beberapa pejuang lainnya di jaman revolusi sempat tertangkap dan disiksa Belanda.

Sayang ketika isu tentang bendera itu kembali muncul, ayah saya sudah tenang berada di alam baka. Jadi saya tidak bisa bertanya lagi tentang bendera yang tetap berkibar sampai larut malam itu. Saya juga hanya bisa tersenyum miris ketika di suatu malam di depan Gedung TVRI Jakarta, terperangkap menyaksikan dua kelompok fanatik anak bangsa, satunya Viking pendukung PERSIB” dan satunya “the Jack Mania PERSIJA” saling berbalas lempar batu seusai laga sepakbola di Senayan. Beberapa bahkan di antara para remaja yang sedang tawuran itu saling mengibas-ngibaskan bendera merah putih yang mereka bawa dari siang hingga malam-malam ….